Minggu, 12 April 2009

Merokok bisa menyebabkan IQ jongkok

Penelitian terbaru mebuktikan merokok tak hanya menimbulkan masalah kesehatan, tapi juga menurunkan tingkat kecerdasan (IQ). Dari kanker, serangan jantung, impotensi dan bahaya yang lain, setidaknya orang bisa melihat betapa rokok mampu menjadi ‘ancaman’ bagi kesehatan. Tapi mengapa orang susah untuk meninggalkan rokok?

Pelarangan merokok di muka umum sebenarnya telah ditetapkan pada 1990, yakni merokok dilarang di tempat seperti kantor, bangunan publik, klub, pub, restoran, kasino, dan kompleks sekolah. Selandia Baru mengikuti Irlandia, Norwegia, serta 10 negara bagian Amerika Serikat yang menetapkan larangan merokok di tempat umum ini.
Deklarasi atau larangan ini tentu bukan tanpa dasar. Banyak penelitian yang menunjukkan merokok berkaitan kuat dengan masalah kesehatan yang dialami perokok.
Penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa saat ini setiap satu jam terdapat 560 orang di dunia ini yang mati karena penyakit yang berhubungan dengan rokok. Jika tak ada upaya yang serius, pada 2020 diperkirakan setiap tahunnya sekitar 8,4 juta penduduk dunia mati akibat penyakit berkaitan dengan rokok.
Tak hanya itu,penelitian juga membuktikan orang yang tidak merokok yang berada di lingkungan yang sama dengan perokok aktif menerima dampak yang dapat membahayakan kesehatan mereka. Contoh perokok pasif ini adalah seorang pegawaii restoran. Meskipun bukan perokok aktif,dengan bekerja di ruangan yang penuh asap rokok selama delapan jam,ia dapat menghirup 60 jenis zat karsinogen(pemicu kanker)
Masalah kesehatan bukan satu-satunya persoalan yang dapat ditimbulkan dari aktivitas merokok. Penelitian terbaru yang dilakukan para peneliti dari Universitas of Aberdeen, Skotlandia, menemukan bahwa merokok menurunkan tingkat kecerdasan (IQ).
Peneliti itu, Lawrence Whalley dari Departemen Kesehatan Mental pada University of Aberdeen, bersama koleganya: Helen C Foxm Ian J Deary dari Departemen Psikologi pada University of Edinburgh, dan John M Starr dari Departemen Kedokteran Geriatrik pada University of Edinburgh. Mereka mengamati bagaimana perkembangan kemampuan kognitif dari 465 individu. Mereka menguji para sukarelawan yang sebagian besar adalah perokok itu untuk mengetahui perubahan selama hidup mereka dan apakah ada kaitannya dengan kebiasaan merokok mereka.
Kognitif dalam psikologi sering diartikan sebagai proses-proses mental dari seorang individu, dengan relasi khusus bahwa pikiran mempunyai keadaan mental internal. Juga dipakai pada pemrosesan informasi jika ada banyak keterlibatan abstraksi dan konkret. Kognitif juga dipakai untuk menjelaskan proses-proses yang mengakibatkan pengetahuan, keahlian atau pembelajaran.
Pengamatan ini telah dimulai pada 1947, saat para sukarelawan itu berumur 11 tahun untuk diukur IQ-nya. Memang, penelitian ini termasuk Scottish Mental Survey yang menemukan tak ada perbedaan IQ dalam kebiasaan merokok. Para sukarelawan itu diuji lagi pada tahun 2000 dan 2002, ketika mereka berusia 64 tahun.
Tes yang diberikan itu bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan berpikir nonverbal, memori dan pengetahuan. Tes juga diberikan untuk mengetahui seberapa cepat mereka memproses informasi, mengambil keputusan pada situasi tertentu, dan melakukan tugas-tugas menyusun dan membentuk.
Dalam pengujian itu ditemukan bahwa para perokok memperlihatkan kesalahan yang signifikan dalam lima uji kognitif (dari tujuh tes yang diberikan) ketimbang dua kelompok lainnya, yakni para bukan perokok dan para bekas perokok. Demikian juga ketika faktor-faktor sosial dan kesehatan seperti pendidikan, pekerjaan, kebiasaan minum alkohol ikut disertakan, merokok tetap menyumbangkan penurunan fungsi kognitif, meski hanya dibawah satu persen.
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal New Scientist edisi 20 Januari 2005 dan di jurnal Addictive Behaviors volume 30 edisi 1 Januari 2005, dampak penurunan IQ ini semakin menguat pada perokok aktif. Pada para perokok juga terjadi penurunan dalam kecepatan psikomotorik ketimbang yang bukan perokok dan bekas perokok.
Penelitian ini juga menemukan dampak negatif “kecil tapi signifikan” yakni sebesar 4 persen kaitan antara merokok dan rusaknya fungsi paru-paru. Temuan itu menguatkan dugaan penelitian sebelumnya yang menyebutkan adanya kaitan antara rusaknya fungsi paru-paru dan efek negatif pada proses berpikir. Namumn, penelitian itu tidak menjelaskan apa mekanisme yang menyebabkan hal itu.
Menurut dugaan Whalley yang mengepalai penelitian ilmuwan Skotlandia ini, penjelasan yang mungkin adalah merokok menyebabkan stress oksidatif, kerusakan kumulatif yang disebabkan oleh molekul yang disebut radikal bebas, pada organ-organ tubuh termasuk otak.
“Penuaan neuron-neuron sangat sensitif terhadap kerusakan oksidatif”, kata Whalley. “Efek membahayakan dari merokok pada fungsi paru-paru tidak dapat dimungkiri lagi”, katanya.
Namun, Whalley menegaskan bahwa efek yang menganggap fungsi kognitif dapat terjadi sebagai akibat dari fungsi jantung dan paru-paru yang buruk yang mempengaruhi otak. Atau, merupakan efek berbahaya dari merokok yang secara langsung menyerang otak dan juga jaringan paru-paru.
Penelitian ini bertolak belakang dengan kepercayaan banyak orang bahwa merokok dapat membantu fungsi otak. Pekerja seni atau orang-orang yang berkerja di bidang kreatif kerap memegang sebuah mitos: mereka baru dapat menghasilkan karya yang bagus kalau bekerja sambil merokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar